Header Ads

LATAR BELAKANG KELAHIRAN METODE AL HIDAYAH‎

Pada awalnya selama puluhan tahun, di Indonesia hanya ‎dikenal Al Baghdadi sebagai metode pengajaran membaca ‎Al Qur’an. Metode ini mempunyai ciri khas terkenal yakni ‎langsung memperkenalkan seluruh huruf-huruf, dan saat ‎huruf-huruf tersebut diberi tanda baca vokal (fathah, kasrah, ‎dlommah) suku kata tersebut dieja mempergunakan istilah ‎aslinya.‎

Perkembangan metode pengajaran Al Qur’an dimulai ‎sekitar akhir tahun 70-an namun Al Bagdadi masih banyak ‎pula dipergunakan. Hingga tahun 1990-an metode-metode ‎lainnya baru mulai dikenal masyarakat, seperti Qiroati, Iqro’, ‎dll. Metode-metode ini dianggap lebih mudah, efektif dan ‎efisien. Apalagi kemudian banyak pula pengajar Al Qur’an ‎mulai melirik orang-orang dewasa sebagai sasaran dakwah. ‎Orang dewasa produktif yang umumnya sibuk dengan ‎pekerjaan sehari-hari, menginginkan metode belajar Al ‎Qur’an praktis dan singkat. Metode pengajaran jenis ini ‎antara lain An Nuur, Al Barqi, Al Wahyu, dll. ‎

Para pengajar Al Qur’an di TPA, sekolah-sekolah ‎Islam, dan lembaga-lembaga dakwah Islam terus berusaha ‎mengembangkan metode-metode pengajaran Al Qur’an. ‎Perkembangan pengajaran Al Qur’an ini adalah sebuah ‎fenomena positif bagi perkembangan dakwah dan syiar di ‎tanah air. Penyusun sebagai salah seorang pengajar Al Qur’an ‎di Sekolah Dasar Integral Luqman Hakim Pesantren ‎Hidayatullah Surabaya merasa tergugah untuk turut ‎berpartisipasi dalam kegiatan dakwah ini. ‎

Berdasarkan pengalaman mengajar bertahun-tahun ‎menggunakan berbagai metode. Kami menawarkan sebuah ‎metode yang kami beri nama AL HIDAYAH. Ciri khas ‎metode ini dengan metode-metode yang lain adalah adanya ‎metode warna dan jumlah tahapan belajar yang lebih sedikit ‎‎(empat jilid).‎

Dari buku-buku yang telah ada, penyusun mengambil ‎banyak pelajaran untuk membuat metode yang lebih efektif ‎dan efisien menurut versi penyusun sendiri. ‎
Dari pengalaman penyusun mengajar dengan ‎menggunakan beberapa metode, maka penyusun mengambil ‎inisiatif untuk:

‎1.‎ Merumuskan metode yang komposisi kesulitan materi ‎tiap jilid berimbang, agar ketuntasan jilid-jilid yang ada ‎bisa maksimal. Misalnya jika diajarkan di sekolah, ‎tentunya target yang dipakai untuk menuntaskan materi ‎perjilid sama, yaitu satu semerter atau dua semester, ‎sehingga ada keseimbangan waktu antara mengajar jilid ‎satu, dua, tiga dan empat.

‎2.‎ Penyusun berusaha untuk tidak memisah materi yang ‎seharusnya bisa digabung misalnya: Mim sukun dibaca ‎dengung bila bertemu ba dan mim sukun bertemu mim; ‎Materi dlommah diikuti wawu sukun dan fathah diikuti ‎wawu sukun; Materi dlommah diikuti wawu sukun dan ‎fathah diikuti wawu sukun; Materi kasrah diikuti ya ‎sukun dan fathah diikuti ya sukun dan lain-lain. ‎pemisahan materi-materi tersebut menurut penyusun ‎sebaiknya dihindari karena kurang efisien. Karena itu ‎format buku AL HIDAYAH mempunyai konsentrasi. ‎Jilid satu konsentrasi pada pengenalan huruf berangkai ‎dan tidak berangkai. Jilid dua pada huruf panjang ‎pendek. Jilid tiga pada huruf mati karena sukun, tasydid ‎dan waqaf. Sedangkan jilid empat pada bacaan dengung ‎dan jelas.

‎3.‎ Masalah ketuntasan materi sangat penyusun perhatikan. ‎Karena itu setiap materi disertai dengan contoh huruf ‎hijaiyah yang lengkap. Menurut penyusun kekurang- ‎lengkapan contoh berimplikasi pada kesulitan baca ‎pada materi berikutnya. Anak-anak menjumpai hal-hal ‎yang tidak diketahui karena pada materi yang ‎membahas hal tersebut tidak disertai contoh yang ‎lengkap. Sedangkan pada prakteknya dibelakang nanti ‎masih banyak huruf-huruf berharakat yang sama.

‎4.‎ Penyusun berusaha menghindari pembahasan materi ‎yang berulang-ulang karena sebenarnya tanpa ‎mengulang materi tersebut (pembahasan konsep) santri ‎sudah mengulangnya setiap membaca bacaan walaupun ‎tanpa disadari. Dan juga hal itu tidak penyusun lakukan ‎karena pengajaran tuntas adalah ruh dari metode ini.

‎5.‎ ‎ Penyusun berusaha menfokuskan materi agar santri ‎benar-benar menguasai dengan cara memberikan ‎pengajaran sangat pendek pada tiap awal materi. Materi ‎ini hanya sebagai pancingan namun sangat berimplikasi ‎pada kemampuan santri. Selanjutnya penyusun ‎melanjutkan dengan kalimah agak panjang yang ‎mewakili seluruh huruf hijaiyah dengan berbagai model ‎agar lisan santri terlatih dengan baik. Lalu berikutnya ‎disusul dengan yang lebih panjang.

‎6.‎ Penyusun tidak mencantumkan materi-materi berikut:‎

a- Dlommah diikuti wawu sukun ada alif-nya atau tidak ‎ada alifnya. Menurut pengalaman penyusun, dengan ‎memberitahu pada saat anak bertanya sudah cukup ‎efektif sehingga tanpa satu pembahasan khususpun ‎insya-Allah gampang dipahami. Materi ini cukup ‎dengan pemberitahuan singkat tak perlu latihan ‎khusus.

‎b-Penyusun tidak menjadikan satu materi khusus pada ‎pengajaran ro’ sukun. Karena sudah menjadi satu ‎kesatuan dengan pengajaran sukun. Sedangkan ‎pengajaran tarqiq dan tafkhim akan diajarkan pada ‎saat sudah naik ke al Quran.

c-Penyusun tidak mencantumkan pengajaran hamzah, ‎‎‘ain dan fa’ sukun dalam satu pokok bahasan karena ‎huruf sukun cukup diajarkan pada pokok bahasan ‎sukun. Begitu pula dengan perbedaan makhraj sudah ‎diajarkan pada jilid satu sehingga jika ada kekeliruan ‎pada jilid berikutnya cukup diingatkan saja.

d-‎ Materi alif lam sukun cukuf efektif jika diajarkan ‎bersama pokok bahasan huruf ber-sukun. Tak perlu ‎satu materi khusus yang terpisah.

Apa yang penyusun kemukakan di atas adalah keyakinan dan ‎pengalaman penyusun yang sudah pernah diuji coba. Tidak ‎tertutup kemungkinan ada model pengajaran baru yang lebih ‎efektif, karena itu penyusun sangat berharap para pecinta al ‎Quran mengkritisi pendapat tersebut. Dan tentunya penyusun ‎sangat terbuka untuk menerima perubahan yang lebih baik.‎

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.